Kemudian dalam bidang Ushul Fiqh beliau berguru juga dengan Musthafa „Abdul Khaliq beserta anaknya „Abdul Ghani Usman Marazuqi, Zhawahiri al-Syafi‟i dan Hasan Wahdan. Dan dalam bidang ilmu Fiqh Perbandigan beliau berguru dengan Abu Zahrah, „Ali Khafif, Muhammad al-Banna, Muhammad Zafzaf, Muhammad Salam Madkur, dan Farj al-Sanhuri. Dan
Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota hai’ah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?” Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fida’ Munadzir Abdul Lathif
c Tidak menerapkan prinsip wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
MENGENAL KEMBALI USHUL WAL FURU’ Banyak diantara saudara Muslim kita yang mudah sekali mencap saudaranya sebagai Kafir, Munafik, Ahlul Bid’ah, dsb dengan alasan dalil, bukan alasan zhahir yang telah disepakati para Ulama’ dengan syarat – syarat tertentu dan pertimbangan yang matang. Mereka hanya menelan mentah – mentah apa – apa yang guru mereka sampaikan tanpa melalui khazanah yang luas dan mendalam. Dalam memahami dalil juga diperlukan ilmunya. Adapun masalah itu, sudah terangkum dalam pengertian di bawah ini. A. MAKNA USHUL DAN FURU’ Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURU’UDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYAR’I. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati. B. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qoth’i yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qoth’i yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURU’ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjama’ah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU’ AKHLAQ. Mengerti kan, jadi dalam memahami suatu masalah, tidak usah ribut – ribut seperti anak kecil. Cukuplah dengan ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih. Insya Allah, suatu permasalahan di kalangan kaum Muslimin bisa teratasi. Allah al musta’an… Wa Allaahu a’lam…
Jawabannyabahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar. Masalah-masalah Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam Fiqh secara bahasa. Karena pada hakekatnya pembagian Ushul dan Furu’ ini hanyalah pembagian akademis, dan realitanya sulit diterapkan
ApakahAda Ushul dan Furu Dalam Aqidah ️ AL USTADZ DZULQARNAIN BIN MUHAMMAD SUNUSI HAFIZHAHULLAH PEMBINA MA'HAD ASSUNNAH MAKASSAR Yuk Tebar Dakwah 1.2천 views, 78 likes, 3 loves, 2 comments, 87 shares, Facebook Watch Videos from Mp3 Kajian & Ebook Salaf: Apakah Ada Ushul dan Furu Dalam Aqidah ️
QYZO2SU. 4s20krorqp.pages.dev/8674s20krorqp.pages.dev/9264s20krorqp.pages.dev/1824s20krorqp.pages.dev/8834s20krorqp.pages.dev/9844s20krorqp.pages.dev/2314s20krorqp.pages.dev/774s20krorqp.pages.dev/1324s20krorqp.pages.dev/2714s20krorqp.pages.dev/6404s20krorqp.pages.dev/7124s20krorqp.pages.dev/514s20krorqp.pages.dev/9854s20krorqp.pages.dev/1614s20krorqp.pages.dev/260
ushul dan furu dalam aqidah