SUKOHARJO(Panjimas.com) – Tokoh Nahdhatul Ulama (NU) Jawa Timur (Jatim), Habib Achmad Zein Alkaf mengatakan bahwa perbedaan yang ada didalam ajaran Islam dan ajaran Syi’ah bukan hanya terdapat dalam masalah furu’iyyah atau cabang semata, namun juga dalam persoalan ushul atau aqidah.Hal ini dikatakan Habib Zein saat menjadi pemateri dalam Uploaded byGalih 0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPPTX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesUshul Dan FuruUploaded byGalih Full descriptionJump to Page You are on page 1of 11Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Hukumtaqlid berbeda-beda sesuai dengan keadaan orang yang bertaqlid dan masalah apa yang ditaqlidi. Dalam soal agama bidang yang ditaqlidi terbagi 2 (dua) yaitu masalah akidah (ushul) dan masalah fiqih (furu'iyah) HUKUM TAKLID BAGI ORANG AWAM Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Haram; .
Pertanyaan Assalamu’alaikum, Ustadz. Apa benar bahwa dalam hal aqidah itu ada pembagian istilah ushul dan furu’? Jika memang ada, hal apa saja contohnya dari masing-masing itu? Jawaban Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah. Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan فإن أصول العقيدة هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره، وأما الفروع فهي ما يتفرع عن هذه الأصوال من المباحث العقدية. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. Pertanyaan lanjutan Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut, Ustadz? Karena turunan dari hal tersebut menjadi madzhab dalam keberagamaan suatu jama’ah. Contohnya, ada jama’ah yang menolak pembagian tentang aqidah tersebut, lalu dikaitkan dengan pemahaman sifat Allah seperti tangan, tempat Allah berada, dan arsy. Dimana jama’ah yang menolak adanya pembagian aqidah tersebut mengatakan bahwa Allah berada di atas atau tangan Allah itu adalah tangan tapi yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sedangkan sebaliknya yang membagi aqidah pada 2 istilah tersebut, ushul dan furu’ memberikan penafsiran yang berbeda. Jawaban Sama dalam menyikapi perbedaan ushul dan furu’ dalam fiqih. Tegas dalam ushul, toleran dalam furu’. Saya pribadi ikut pendapat bahwa dalam aqidah semuanya ushul, tinggal adabnya saja dijaga. jika kita berhadapan dengan saudara kita yang berpendapat adanya furu’ aqidah, kita tidak langsung menuduhnya sesat jika dia mengikuti ulama yang meyakini demikian. Sebagian orang atau kelompok, ada yang bersikap keras dalam hal ini bisa dimaklumi tapi belum tentu sikap itu layak diikuti. Yang mesti dikeraskan adalah jika ada pelanggaran dalam hal yang ushul atau pengingkaran secara mutlak. Keras bukan berarti kekerasan fisik. Wallahu a’lam. MasalahUshul dan furu’ dalam Islam 3. Kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 4. Sikap inklusif dalam berakidah 3 Memahami pemikiran aliran Khawarij 1. Menjelaskan Aqidah dan Ilmu Kalam Kontempore r 1. Mengidentifikasi Karakteristik muslim kekinian 2. Menganalisis secara kritis ilmu kalam 3. Menjabarkan Teologi Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan فإن أصول العقيدة هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره، وأما الفروع فهي ما يتفرع عن هذه الأصوال من المباحث العقدية. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. Pertama Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini pun termasuk kategori tafarruq. Seperti, aqidah. Dalam hal ini tidak ada kata toleransi. Kedua, Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, bukan ushul). Ini termasuk kategori ikhtilaf yang diterima dan ditolerir. Selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Segala Nan Dimaksud Ilmu Ushul dan Furu’? Sidang pembaca yang memiliki akhlaq indah berikut kami sajikan apa yang dimaksud ilmu ushul dan furu’? Selamat membaca. Pertanyaan Apakah yang dimaksud keburukan furu’ dalam hakikat fiqih ialah mengenal hukum-hukum syar’i salam ki kesulitan furu’? Ditanyakan oleh Santri Khotbah Selam Online Mahad BIAS Jawaban Bismillah. Sebagai halnya yang sudah banyak di berjalan dan dipergunakan oleh para cerdik pandai di dalam menjatah cabang mantra, yakni Ushul dan Furu. Ushul masuk di dalamnya hobatan akidah dan ilmu ushul, dan menempatkan masalah-ki aib aji-aji fiqih sebagai hobatan furu` cabang. Mereka memberi pembagian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa permasalahan yang ada udzur bersumber kesalahannya ibarat ilmu Furu dan nan enggak ada udzur dari kesalahannya disebut sebagai mantra ushul. Keabsahan pembagian syariah menjadi ushul dan Furu` sebagaimana di atas telah ditentang dan dikritisi makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta para ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa pendistribusian tersebut belum pernah ada pada masa Utusan tuhan maupun masa sahabat, bahkan beliau bermula Mu`tazilah dan semisalnya dari ahlul bid`ah, karena aji-aji syariat semuanya gerendel, enggak ada taktik maupun simpang, semuanya penting. Dari pengingkaran terhadap permasalahan keduanya semua bisa menjadikan seseorang keluar berusul agama bila mengingkarinya. Dan sebagainya dari hujjah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam. Silahkan baca sendang berikut Majmu fatawa 346 -347, 13/126, minhaj sunnah 5 48 – 95, Majmu fatawa 6/56 -57 Sahaja sebagian para cerdik pandai tetap berpendapat, bahwa pembagian hobatan ushul dan furu` hanya sebagai pembagi semenjak ilmu nan suka-suka berusul ulum syar`i tanpa meredam emosi identitas dan konsekuensi bermula keduanya. Sehingga pembagian ilmu syar`i dengan ilmu ushul dan ilmu furu` diperbolehkan secara istilah. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله Jumat, 20 Ramadan 1443 H/ 22 April 2022 M Ustadz Mu’tashim Lc., Dewan interviu DidikanSelam Bias, alumus Perkumpulan Islam Madinah syarah Syariah dan MEDIU Cak bagi mengaram artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., حفظه الله klik di sini Secaraetimologis, istilah “fatwa” berasal dari bahasa Arab, yaitu “al fatwa” yang berarti petuah, nasehat dan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.Abdul Aziz Dahlan, dkk dalam “Ensiklopedi Hukum Islam”, menyebutkan bahwa fatwa dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan oleh
DI DALAM masalah fiqh, terdapat ushul pokok dan furu’ cabang. Demikian pula di dalam masalah aqidah, terdapat ushul dan furu’. Walaupun tidak ada di zaman nabi masuk perkara baru, pembagian seperti ini diperbolehkan. Karena pada hakikatnya tidak bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. Pembagian ini berfungsi untuk memudahkan memeta atau mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan agama. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ mayoritas ulama’ dari masa ke masa sampai zaman kita sekarang ini. Dalam masalah fiqh, contohnya shalat fardhu yang lima. Hukum wajibnya shalat lima waktu, termasuk perkara ushul. Karena termasuk rukun Islam kedua setelah syahadat. Namun, masalah qunut Shubuh, dikeraskan tidaknya bacaan “basmalah” dalam shalat jarhiyyah, boleh tidaknya melafadzkan niat, lutut atau kaki dulu yang menyentuh lantai ketika turun sujud, duduk rekaat terakhir tawwaruk atau ifirasy, dan yang lainnya, termasuk perkara furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah-masalah ini. BACA JUGA Beribadahlah dengan Sungguh-sungguh kepada Allah Dalam masalah aqidah, contohnya adalah keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah termasuk masalah ushul. Karena termasuk rukun iman yang pertama. Namun masalah berapa jumlah asmaul husna nama-nama Allah yang baik, maka termasuk perkara furu’. Oleh karena itu para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang menyatakan terbatas 99 nama, dan ada yang menyatakan tidak terbatas. Beriman kepada adanya adzab qubur, termasuk masalah ushul agama. Akan tetapi masalah apakah yang diadzab ruh dan jasad, atau ruh saja, maka ini termasuk masalah furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. Apa faidah mengklasifikasikan masalah agama menjadi ushul dan furu’? Untuk memudahkan menjelaskan hukum-hukum dan konsekwensinya. Seorang yang keliru di dalam masalah ushul, berbeda dengan seorang yang keliru dalam masalah furu’. Cara menyikapi perbedaan dalam masalah uhsul, berbeda dengan cara menyikapi perbedaan dalam masalah furu’. Seorang yang mengingkari wajibnya shalat lima waktu secara sadar, tahu, dan sengaja, dia telah keliru dalam masalah ushul. Ini akan berkonsekwensi hukum-hukum besar kepadanya. Seperti penetapan hukum kafir, sesat, hukum istitab permintaan untuk taubat jika tidak mau maka dibunuh, tidak bisa mewarisi dan mewarisakan harta, dan yang lainnya. Dalam hal ini, maka kita wajib berbeda dan tidak ada toleransi di dalamnya. Dan hak-hak sesama muslim tidak berlaku lagi di sini. Namun lain halnya dalam masalah qunut shubuh. Seorang yang berbeda dalam masalah ini, baik yang berpendapat disyariatkannya atau tidak, maka mereka tetap di dalam lingkup sebagai seorang muslim dan masih berstatus sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Karena hal ini termasuk masalah furu’. Harus tetap saling mencintai, menghormati, menghargai, tidak boleh menjadi sebab perpecahan, tidak boleh memaksakan dan berbagai hak-hak persaudaraan sesama muslim tetap kita tunaikan. Jika seorang menyikapi perbedaan pendapat di dalam masalah furu’ seperti menyikapi perbedaan dalam masalah ushul, maka ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Inilah pentingnya kita memahami pembagian seperti ini, untuk meminimalisir berbagai kesalahan dalam memahami hukum dan konsekwensinya. BACA JUGA Tiga Orang yang Tidak Diterima Ibadahnya Sebagian pihak ada yang menolak pembagian ushul dan furu’ secara mutlak. Ini pendapat yang tidak mu’tabar tidak diperhitungkan. Selain menyelisihi pendapat mayoritas ulama’, pada hakikatnya –secara tidak sadar- pendapat ini telah menolak fakta adanya hal ini ushul dan furu’ dalam agama. Sebagiannya ada yang bersandar kepada pernyataan-pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam menolak klasifikasi ini. Padahal, yang ditolak oleh beliau, bukanlah penolakan secara mutlak. Akan tetapi, dalam masalah definisi batasan-batasanya dan konsekwensi darinya yang tidak sejalan dengan syari’at. Wallahu a’lam bish shawab. Demikian coretan kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. [] Referensi -Masailu Ushulid Din Al-Mabhutsah fil Ushulil Fiqh – Dr. Khalid Abdul Lathif-Hushulul Ma’mul – Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al Amir-Ushul wal Furu’ – Dr. Sa’ad Asy-Syatsri Facebook Abdullah Al Jirani
Kemudian dalam bidang Ushul Fiqh beliau berguru juga dengan Musthafa „Abdul Khaliq beserta anaknya „Abdul Ghani Usman Marazuqi, Zhawahiri al-Syafi‟i dan Hasan Wahdan. Dan dalam bidang ilmu Fiqh Perbandigan beliau berguru dengan Abu Zahrah, „Ali Khafif, Muhammad al-Banna, Muhammad Zafzaf, Muhammad Salam Madkur, dan Farj al-Sanhuri. Dan Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota hai’ah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?” Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fida’ Munadzir Abdul Lathif
c Tidak menerapkan prinsip wala’ dan bara’ dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Karena bab wala’ bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
MENGENAL KEMBALI USHUL WAL FURU’ Banyak diantara saudara Muslim kita yang mudah sekali mencap saudaranya sebagai Kafir, Munafik, Ahlul Bid’ah, dsb dengan alasan dalil, bukan alasan zhahir yang telah disepakati para Ulama’ dengan syarat – syarat tertentu dan pertimbangan yang matang. Mereka hanya menelan mentah – mentah apa – apa yang guru mereka sampaikan tanpa melalui khazanah yang luas dan mendalam. Dalam memahami dalil juga diperlukan ilmunya. Adapun masalah itu, sudah terangkum dalam pengertian di bawah ini. A. MAKNA USHUL DAN FURU’ Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURU’UDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furu’uddin biasa disingkat FURU’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furu’, karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYAR’I. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati. B. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURU’ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qoth’i yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qoth’i yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qur’an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth’i, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qoth’i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qoth’i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qoth’i karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu’, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth’i, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qoth’i tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURU’. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth’i, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURU’. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURU’ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTH’I, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah FURU’, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjama’ah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah FURU’ AKHLAQ. Mengerti kan, jadi dalam memahami suatu masalah, tidak usah ribut – ribut seperti anak kecil. Cukuplah dengan ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih. Insya Allah, suatu permasalahan di kalangan kaum Muslimin bisa teratasi. Allah al musta’an… Wa Allaahu a’lam…

Jawabannyabahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar. Masalah-masalah Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di dalam Fiqh secara bahasa. Karena pada hakekatnya pembagian Ushul dan Furu’ ini hanyalah pembagian akademis, dan realitanya sulit diterapkan

ApakahAda Ushul dan Furu Dalam Aqidah ️ AL USTADZ DZULQARNAIN BIN MUHAMMAD SUNUSI HAFIZHAHULLAH PEMBINA MA'HAD ASSUNNAH MAKASSAR Yuk Tebar Dakwah 1.2천 views, 78 likes, 3 loves, 2 comments, 87 shares, Facebook Watch Videos from Mp3 Kajian & Ebook Salaf: Apakah Ada Ushul dan Furu Dalam Aqidah ️
QYZO2SU.
  • 4s20krorqp.pages.dev/867
  • 4s20krorqp.pages.dev/926
  • 4s20krorqp.pages.dev/182
  • 4s20krorqp.pages.dev/883
  • 4s20krorqp.pages.dev/984
  • 4s20krorqp.pages.dev/231
  • 4s20krorqp.pages.dev/77
  • 4s20krorqp.pages.dev/132
  • 4s20krorqp.pages.dev/271
  • 4s20krorqp.pages.dev/640
  • 4s20krorqp.pages.dev/712
  • 4s20krorqp.pages.dev/51
  • 4s20krorqp.pages.dev/985
  • 4s20krorqp.pages.dev/161
  • 4s20krorqp.pages.dev/260
  • ushul dan furu dalam aqidah